4 Gerakan DI-TII yang Pernah Ada di Indonesia

ASTALOG.COM – Sebagaimana di artikel sebelumnya telah dibahas mengenai Sejarah Singkat Terbentuknya DI/TII, dalam artikel kali ini kita akan membahas tentang 4 Gerakan DI/TII yang Pernah Ada di Indonesia. Ada pun ke-4 gerkan DI/TII tersebut adalah:

1) Gerakan DI/TII Daud Beureuh

 

Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai dengan “Proklamasi” yang dilakukan Daud Beureueh bahwa Aceh merupakan bagian “Negara Islam Indonesia” di bawah pimpinan Imam Kartosoewirjo pada tanggal 20 September 1953. Sebagaimana diketahui, sebelumnya Daued Beureueh pernah memegang jabatan sebagai “Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh” sewaktu agresi militer pertama Belanda pada pertengahan tahun 1947.

Sebagai Gubernur Militer, ia berkuasa penuh atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat pemerintahan baik sipil maupun militer. Sebagai seorang tokoh ulama dan bekas Gubernur Militer, Daud Beureuh bisa memperoleh banyak pengikut. Daud Beureuh juga berhasil mempengaruhi pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie. Untuk beberapa waktu lamanya Daud Beureuh dan anak-buahnya dapat mengusai sebagian daerah Aceh.

PELAJARI:  Keterikatan Manusia dengan Kondisi Geografis
 

Sesudah bantuan datang dari Sumatera Utara dan Sumatera Tengah, operasi pemulihan keamanan ABRI (TNI-POLRI) segera dimulai. Setelah didesak dari kota-kota besar, Daud Beureuh meneruskan pemberontakannya di hutan-hutan. Penyelesaian terakhir pemberontakan Daud Beureuh ini dilakukan dengan suatu “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” pada bulan Desember 1962 atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel Jendral Makarawong.

2) Gerakan DI/TII Ibnu Hajar

Pada bulan Oktober 1950, DI/TII juga tercatat melakukan pemberontakan di Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar. Para pemberontak melakukan pengacauan dengan menyerang pos-pos kesatuan ABRI (TNI-POLRI). Dalam menghadapi gerombolan DI/TII tersebut, pemerintah pada mulanya melakukan pendekatan damai kepada Ibnu Hadjar dengan diberi kesempatan untuk menyerah, dan akan diterima menjadi anggota ABRI. Ibnu Hadjar sempat berpura-pura menyerah, akan tetapi setelah menyerah dia kembali melarikan diri dan melakukan pemberontakan lagi sehingga pemerintah akhirnya terpaksa menugaskan pasukan ABRI (TNI-POLRI) untuk menangkap Ibnu Hadjar. Pada akhir tahun 1959, Ibnu Hadjar beserta seluruh anggota gerombolannya tertangkap dan dihukum mati.

PELAJARI:  Kekayaan Alam Padang Rumput

3) Gerakan DI/TII Amir Fatah

Amir Fatah merupakan tokoh yang membidani lahirnya DI/TII Jawa Tengah. Semula ia bersikap setia pada Republik Indonesia, namun kemudian sikapnya berubah dengan mendukung Gerakan DI/TII. Perubahan sikap tersebut disebabkan oleh beberapa alas an, yaitu:

  • Terdapat persamaan ideologi antara Amir Fatah dengan M. Kartosoewirjo, yaitu keduanya menjadi pendukung setia ideologi Islam radikal.
  • Amir Fatah dan para pendukungnya menganggap bahwa aparatur Pemerintah Republik Indonesia dan TNI yang bertugas di daerah Tegal-Brebes telah terpengaruh oleh “orang-orang Kiri“, dan mengganggu perjuangan umat Islam.
  • Adanya pengaruh “orang-orang Kiri” tersebut, dimana Pemerintah RI dan TNI dianggap tidak menghargai perjuangan Amir Fatah dan para pendukungnya selama di daerah Tegal-Brebes. Bahkan kekuasaan yang telah dibinanya sebelum Agresi Militer II, harus diserahkan kepda TNI di bawah pimpinan Mayor Wongsoatmojo.
  • Adanya perintah penangkapan dirinya oleh Mayor Wongsoatmojo.

Hingga kini Amir Fatah dikenal sebagai pemberontak, baik oleh negara Republik Indonesia maupun umat muslim Indonesia.

PELAJARI:  Pengaruh Relief Bumi bagi Kehidupan Manusia

4) Gerakan DI/TII Qahar Muzakkar

Ketika Pemerintah Republik Indonesia berencana membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan anggotanya disalurkan ke masyarakat, tenyata Qahar Muzakkar menuntut agar KGSS dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan dalam 1 brigade yang disebut Brigade Hasanuddin di bawah pimpinanya. Namun tuntutan itu ditolak karena banyak di antara mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dinas militer.

Pemerintah RI lalu mengambil kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Qahar Muzakkar beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan. Qahar Muzakkar lalu mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII Kartosoewiryo pada tanggal 7 Agustus 1953. Tanggal 3 Februari 1965, Qahar Muzakkar tertembak mati oleh pasukan ABRI (TNI-POLRI) dalam sebuah baku tembak.