Makna dan Pelajaran yang Kita Peroleh tentang Perjanjian Bongaya di Sulawesi

ASTALOG.COM – Perjanjian Bongaya merupakan sebuah bentuk perjanjian antara Kerajaan (Kesultanan) Gowa yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dengan pihak Hindia Belanda yang diwakili oleh Laksamana Cornelis Speelman. Perjanjian ini berlangsung pada tanggal 18 November 1667 di Bongaya, Sulawesi Selatan.

Perjanjian Bongaya sebenarnya bukanlah sebuah bentuk perjanjian damai yang sebenarnya, melainkan sebuah deklarasi kekalahan Gowa dari VOC (Kompeni) serta pengesahan monopoli oleh VOC untuk perdagangan sejumlah barang di pelabuhan Makassar yang sebelumnya dikuasai oleh Kerajaan Gowa.

 

Ada pun isi dari Perjanjian Bongaya antara lain :

  1. Seluruh pejabat dan rakyat Kompeni berkebangsaan Eropa yang baru-baru ini atau pada masa lalu melarikan diri dan masih tinggal di sekitar Makassar harus segera dikirim kepada Laksamana (Cornelis Speelman).
  2. Seluruh alat-alat, meriam, uang, dan barang-barang yang masih tersisa, yang diambil dari kapal Walvisch di Selayar dan Leeuwin di Don Duango, harus diserahkan kepada Kompeni.
  3. Mereka yang terbukti bersalah atas pembunuhan orang Belanda di berbagai tempat harus diadili segera oleh Perwakilan Belanda dan mendapat hukuman setimpal.
  4. Raja dan bangsawan Makassar harus membayar ganti rugi dan seluruh utang pada Kompeni, paling lambat musim berikut.
  5. Seluruh orang Portugis dan Inggris harus diusir dari wilayah Makassar dan tidak boleh lagi diterima tinggal di sini atau melakukan perdagangan.
  6. Tidak ada orang Eropa yang boleh masuk atau melakukan perdagangan di Makassar.
  7. Hanya Kompeni yang boleh bebas berdagang di Makassar. Orang “India” atau “Moor” (Muslim India), Jawa, Melayu, Aceh, atau Siam tidak boleh memasarkan kain dan barang-barang dari Tiongkok karena hanya Kompeni yang boleh melakukannya. Semua yang melanggar akan dihukum dan barangnya akan disita oleh Kompeni.
  8. Kompeni harus dibebaskan dari bea dan pajak impor maupun ekspor.
  9. Pemerintah dan rakyat Makassar tidak boleh berlayar ke mana pun kecuali Bali, pantai Jawa, Jakarta, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan Kalimantan, dan harus meminta surat izin dari Komandan Belanda di sini (Makassar). Mereka yang berlayar tanpa surat izin akan dianggap musuh dan diperlakukan sebagaimana musuh.
  10. Seluruh benteng di sepanjang pantai Makassar harus dihancurkan, yaitu: Barombong, Pa’nakkukang, Garassi, Mariso, Boro’boso. Hanya Somba Opu yang boleh tetap berdiri untuk ditempati Raja.
  11. Benteng Ujung Pandang harus diserahkan kepada Kompeni dalam keadaan baik, bersama dengan desa dan tanah yang menjadi wilayahnya.
  12. Koin Belanda seperti yang digunakan di Batavia harus diberlakukan di Makassar.
  13. Raja dan para bangsawan harus mengirim ke Batavia uang senilai 1.000 budak pria dan wanita, dengan perhitungan 2½ tael atau 40 mas emas Makassar per orang. Setengahnya harus sudah terkirim pada bulan Juni dan sisanya paling lambat pada musim berikut.
  14. Gowa harus melepaskan seluruh keinginannya menguasai kepulauan Selayar dan Pansiano (Muna), seluruh pantai timur Sulawesi dari Manado ke Pansiano, Banggai, dan Kepulauan Gapi dan tempat lainnya di pantai yang sama, dan negeri-negeri Mandar dan Manado, yang dulunya adalah milik raja Ternate.
  15. Gowa harus menanggalkan seluruh kekuasaannya atas negeri-negeri Bugis dan Luwu. Raja tua Soppeng [La Ténribali] dan seluruh tanah serta rakyatnya harus dibebaskan, begitu pula penguasa Bugis lainnya yang masih ditawan di wilayah-wilayah Makassar, serta wanita dan anak-anak yang masih ditahan penguasa Gowa.
  16. Seluruh laki-laki Bugis dan Turatea yang menikahi perempuan Makassar, dapat terus bersama isteri mereka. Untuk selanjutnya, jika ada orang Makassar yang berharap tinggal dengan orang Bugis atau Turatea, atau sebaliknya, orang Bugis atau Turatea berharap tinggal dengan orang Makassar, boleh melakukannya dengan seizin penguasa atau raja yang berwenang.
  17. Pemerintah Gowa harus menutup negerinya bagi semua bangsa (kecuali Belanda). Mereka juga harus membantu Kompeni melawan musuhnya di dalam dan sekitar Makassar.
  18. Pemerintah Gowa harus membayar ganti rugi sebesar 250.000 rijksdaalders dalam lima musim berturut-turut, baik dalam bentuk meriam, barang, emas, perak ataupun permata.
PELAJARI:  Cara Menghemat Energi yang Mudah Diterapkan

Berdasarkan isi dari Perjanjian Bongaya di atas, kita dapat memperoleh makna dan pelajaran berharga tentang perjanjian ini, yaitu :

 

Sultan Hasanuddin terpaksa bersedia menandatangani perjanjian Bongaya yang sebetulnya merugikan Kerajaan Gowa atas dasar rasa kemanusiaan untuk menghentikan atau mengurangi jumlah korban yang terus berjatuhan dalam perselisihan antara pihak kompeni dan Kerjaaan Gowa.  Keputusan beliau untuk menandatangani perjanjian ini tentunya diawali oleh pemikiran dan pertimbangan yang matang sampai akhirnya harus bersedia melakukannya demi melindungi rakyat Gowa dari para kompeni dan menciptakan kehidupan yang lebih damai di Sulawesi Selatan. Jadi, pada intinya, kita diajarkan untuk bersikap dan berpikir yang matang dalam memutuskan sesuatu yang melibatkan kepentingan orang banyak.