ASTALOG.COM – Kerajaan Aceh merupakan salah satu kerajaan terbesar dari beberapa Kerajaan Islam di Indonesia pada zaman Indonesia Madya. Beberapa sejarawan berbeda pendapat mengenai awal mula berdirinya Kerajaan Aceh. Hal ini dikalangan sejarawan sangat wajar terjadi dalam menafsirkan bukti sejarah.
Aceh berdiri sekitar abad ke-16, dimana saat itu jalur perdagangan lada yang semula melalui Laut Merah, Kairo, dan Laut Tengah diganti menjadi melewati sebuah Tanjung Harapan dan Sumatra. Hal ini membawa perubahan besar bagi perdagangan Samudra Hindia, khususnya Kerajaan Aceh. Para pedagang yang rata-rata merupakan pemeluk agama Islam kini lebih suka berlayar melewati utara Sumatra dan Malaka.
Selain pertumbuhan ladanya yang subur, disini para pedagang mampu menjual hasil dagangannya dengan harga yang tinggi, terutama pada para saudagar dari Cina. Namun hal itu justru dimanfaatkan bangsa Portugis untuk menguasai Malaka dan sekitarnya. Dari situlah pemberontakan rakyat pribumi mulai terjadi, khususnya wilayah Aceh (Denys Lombard: 2006, 61-63)
Masa Kejayaan Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh mulai mengalami masa keemasan atau puncak kekuasaan di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda, yaitu sekitar tahun 1607 sampai tahun 1636. Pada masa Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengalami peningkatan dalam berbagai bidang, yakni dalam bidang politik, ekonomi-perdagangan, hubungan internasional, memperkuat armada perangnya, serta mampu mengembangakan dan memperkuat kehidupan Islam. Bahkan kedudukan Bangsa Portugis di Malaka pun semakin terdesak akibat perkembangan yang sangat pesat dari Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda (Poesponegoro: 2010, 31)
Sultan Iskandar Muda memperluas wilayah teritorialnya dan terus meningkatkan perdagangan rempah-rempah menjadi suatu komoditi ekspor yang berpotensial bagi kemakmuran masyarakat Aceh. Ia mampu menguasai Pahang tahun 1618, daerah Kedah tahun 1619, serta Perak pada tahun 1620, dimana daerah tersebut merupakan daerah penghasil timah. Bahkan dimasa kepemimpinannya Kerajaan Aceh mampu menyerang Johor dan Melayu hingga Singapura sekitar tahun 1613 dan 1615. Ia pun diberi gelar Iskandar Agung dari Timur.
Raja-raja Aceh
1. Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al Qahar
Sultan Alauddin adalah sultan Salahuddin. Ia merebut kekuasaan karena lemahnya pemerintahan Sultan Salahuddin. Selama memerintah, Sultan Alaudin mengadakan perbaikan kondisi kerajaan dan perluasan wilayah, antara lain ke Kerajaan Aru. Usahanya untuk merebut Malaka dari Portugis mengalami kegagalan.
Sultan Alauddin juga aktif menyebarkan pengaruh Islam dengan mengirim banyak ahli dakwah ke Pulau Jawa, salah satunya adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Ia adalah seorang ulama Aceh keturunan Raja Samudra Pasai yang dikirim ke Gresik, Jawa Timur. Sayangnya setelah Sultan Alauddin meninggal kerjaan ini mengalami kemunduran akibat konflik internal dan pemberontakan.
2. Sultan Iskandar muda / Darma Wangsa Syah
Selama masa pemerintahan Sultan Iskandar muda, Kerajaan Aceh Darussalam mengalami masa keemasan. Berhasil menyaingi monopoli perdagangan Portugis melalui jalur perdagangan alternatif. Wilayah kekuasaannya sampai ke Semenanjung Malaya yang dikenal sebagai Malaysia.
Struktur pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam dibentuk oleh Sultan Iskandar Muda sendiri yang terbagi menjadi dua wilayah. Pertama, kekuasaan oleh kaum bangsawan yang terbagi dalam daerah-daerah kehulubalang yang dikepalai oleh Uleebalang. Kedua, alim ulama. Namun, setelah Sultan Iskandar Muda wafat Kerajaan Aceh Darussalam mulai mengalami kemuduran.
Setelah Sultan Iskandar Muda
Menantu Iskandar Muda yang bergelar Sultan Iskandar Sani, naik tahta pada tahun 1636 M. Pada masa itu, Sultan Iskandar Sani menerapkan kebijakan yang lunak, sehingga menyebabkan daerah-daerah taklukkan melepaskan diri satu persatu. Sultan IskandarSani wafat tahun 1641.
Pemerintahan kerajaan dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda, Putri Sri Alam Permaisuri yang bergelar Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641 – 1675 M). Sultanah adalah gelar untuk ratu Kerajaan Aceh Darussalam.
Selama 59 tahun berikutnya kerajaan ini diperintah oleh para ratu. Terjadi perpecahan antar kelompok antara golongan ulama (tengku) dan golongan bangsawan (Teuku). Perpecahan ini dipicu oleh golongan bangsawan yang lebih dekat dengan penjajah Kolonial Belanda.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, kaum wanita memiliki hak yang sama dalam berbagai hal termasuk pendidikan. Hal ini disempurnakan oleh pemerintahan Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Sani, terdapat dua orang sastrawan terkenal, yaitu Nuruddin ar-Raniri dan Hamzah Fanzuri. Kesusastraaan Aceh Darussalam seperti Bustanussalatain dan Hikayat Putrou Gumbok Meuh menunjukkan besarnya pengaruh agama Islam dalam sanjak khas Aceh Darussalam.