Perlawanan Rakyat Indonesia Terhadap Jepang

ASTALOG.COM – Pendudukan Jepang di Indonesia ternyata lebih banyak memberikan dampak yang negatif bagi kelangsungan hidup rakyat Indonesia di masa itu. Hal ini karena Jepang seringkali bertindak sewenang-wenang, dimana seringkali rakyat tidak bersalah ditangkap, ditahan dan disiksa. Kekejaman itu dilakukan oleh Kempetai (polisi militer Jepang). Belum lagi nasib sejumlah perempuan di Indonesia saat itu yang ditipu Jepang dengan dalih untuk bekerja sebagai perawat atau disekolahkan, namun ternyata hanya dipaksa untuk melayani para Kempetai sebagai pekerja seks. Para perempuan tersebut disekap dalam kamp-kamp yang tertutup sebagai wanita penghibur. Kamp-kamp tersebut dapat ditemukan di Jakrta, Semarang, Solo, dan Sumatera Barat.

Dengan tindakannya yang sudah sangat sewenang-wenang, menimbulkan sikap perlawanan rakyat Indonesia terhadap pendudukan Jepang di Indonesia. Adapun sejumlah perlawanan rakyat Indonesia yang dilakukan terhadap Jepang adalah:

 

1) Peristiwa Cot Plieng

Peristiwa ini terjadi di Cot Plieng, Lhoukseumawe, Aceh pada 10 November 19442 berupa pemberontakan yang dipimpin seorang ulama muda dan guru mengaji, Tengku Abdul Jalil. Usaha Jepang untuk membujuk sang ulama tidak berhasil, sehingga Jepang melakukan serangan mendadak di pagi buta sewaktu rakyat sedang melaksanakan salat Subuh. Dengan persenjataan seadanya, rakyat berusaha menahan serangan dan berhasil memukul mundur pasukan Jepang untuk kembali ke Lhokseumawe. Begitu juga dengan serangan kedua, berhasil digagalkan oleh rakyat. Baru pada serangan terakhir, Jepang berhasil membakar masjid sementara pemimpin pemberontakan (Teuku Abdul Jalil) berhasil meloloskan diri , namun akhirnya tertembak saat sedang salat.

PELAJARI:  Jelaskan yang Dimaksud dengan Konjungsi Temporal
 

2) Peristiwa Singaparna

Perlawanan fisik ini terjadi di pesantren Sukamanah Singaparna Tasikmalaya, Jawa Barat di bawah pimpinan KH. Zainal Mustafa pada tahun 1943. Ia menolak dengan tegas ajaran yang berbau Jepang, khususnya kewajiban untuk melakukan Seikerei setiap pagi, yaitu memberi penghormatan kepada Kaisar Jepang dengan cara membungkukkan badan ke arah matahari terbit. Kewajiban Seikerei ini jelas menyinggung perasaan umat Islam Indonesia karena termasuk perbuatan syirik/menyekutukan Tuhan. Selain itu ia juga tidak tahan melihat penderitaan rakyat akibat tanam paksa. Jepang memutuskan untuk menggunakan kekerasan sebagai upaya untuk mengakhiri pembangkangan ulama tersebut. Pada tanggal 25 Februari 1944, terjadilah pertempuran sengit antara rakyat dengan pasukan Jepang setelah salat Jumat. Meskipun berbagai upaya perlawanan telah dilakukan, namun KH. Zainal Mustafa berhasil juga ditangkap dan dibawa ke Tasikmalaya kemudian dibawa ke Jakarta untuk menerima hukuman mati dan dimakamkan di Ancol.

PELAJARI:  Fungsi Usus Buntu

3) Pemberontakan PETA

Pemberontakan ini awalnya terjadi di Blitar, Jawa Timur pada 25 Februari 1945. Perlawanan ini dipimpin oleh Syodanco Supriyadi, Syodanco Muradi, dan Dr. Ismail. Perlawanan ini disebabkan karena persoalan pengumpulan padi, dimana Romusha maupun Heiho yang melakukannya secara paksa dan di luar batas peri kemanusiaan. Sebagai putera rakyat, para pejuang tidak tega melihat penderitaan rakyat. Ditambah lagi sikap para pelatih militer Jepang yang angkuh dan merendahkan prajurit-prajurit Indonesia. Perlawanan PETA di Blitar merupakan perlawanan yang terbesar di Jawa. Tetapi dengan tipu muslihat Jepang melalui Kolonel Katagiri (Komandan pasukan Jepang), pasukan PETA berhasil ditipu dengan pura-pura diajak berunding. 4 perwira PETA akhirnya dihukum mati dan tiga lainnya disiksa sampai mati. Sedangkan Syodanco Supriyadi berhasil meloloskan diri.

PELAJARI:  Jenis Kelainan Saraf Kranial

Perjuangan PETA di Jawa ternyata diikuti oleh beberapa anggota PETA di luar Jawa. Pada November 1944, seorang Perwira Gyugun Teuku Hamid di Meureudu, Pidie, Aceh melakukan perlawanan karena sikap Jepang yang angkuh dan kejam terhadap rakyat pada umumnya dan prajurit Indonesia pada khususnya. Lalu pada April 1945, anggota PETA di Gumilir, Cilacap juga melakukan perlawanan. Perlawanan ini dipimpin oleh pemimpin regu, Bundanco Kusaeri bersama rekan-rekannya. Perlawanan yang direncanakan dimulai tanggal 21 April 1945 diketahui Jepang sehingga Bundanco Kusaeri ditangkap pada tanggal 25 April 1945. Ia divonis hukuman mati tetapi tidak terlaksana karena Jepang terdesak oleh Sekutu.